Unsur Kebudayaan Kota Ambon
Unsur-unsur kebudayaan:
A. Bahasa Ambon
Bahasa Ambon adalah Bahasa yang tergolong sebagai rumpun atau dialek dari bahasa Melayu standar yang diperuntukan di wilayah Provinsi Keliruku yang mencakup Kota Ambon.
Bahasa Melayu berasal dari Indonesia proses barat (dulu disebut Nusantara proses barat) dan telah berabad-abad menjadi bahasa antarsuku di seluruh kepulauan nusantara. Sebelum bangsa Portugis menginjakan kakinya di Ternate (Tahun 1512), bahasa Melayu telah benar di Keliruku dan dipergunakan sebagai bahasa perdagangan.
Bahasa Melayu Ambon berlainan dari bahasa Melayu Ternate karena pada masa waktu seratus tahun dahulu suku-suku di Ambon dan yang tentunya memengaruhi perkembangan bahasa Melayu Ambon sangat berlainan dari suku-suku yang benar di Ternate. Misalnya bahasa Melayu Ambon mendapat banyak pengaruh dari bahasa Melayu Makassar. Kemudian pada masa seratus tahun ke-16, Portugis menjajah Keliruku sehingga cukup banyak kosa-kata bahasa Portugis masuk ke dalam bahasa Melayu Ambon. Terakhir bangsa Belanda masuk ke Maluku, sehingga benar cukup banyak, kata serapan dari bahasa Belanda yang diterima menjadi kosakata dalam bahasa Melayu Ambon.
Beberapa contoh Kata serapan Melayu Ambon dari Eropa selang lain:
• Capeu (topi) : Chapéu (Portugal)dibaca kapeu
• Bandera (bendera): Bandeira (Portugal)
• Rim (ikat pinggang) : Riem (Belanda)
• Fork (garpu) : Vork (Belanda)dibaca fok
• Lenso (sapu tangan) : Lenço (Portugal)
• Mestiza (selendang leher) : Mestiza (Portugal)dibaca mestisa
B. Sistem pengetahuan
Masyarakat suku Ambon biasanya menguasai ilmu pelayaran, pembacaan arah melalui letak gugus bintang, pertukangan, terutama untuk perkapalan, di samping pembuatan rumah. Selain itu juga pengobatan dengan bahan-bahan
rempah alami seperti daun kaki kuda, beluntas, dan turi yang disajikan dengan cara yang berbeda-beda tergantung khasiatnya.
C. Sistem organisasi kemasyarakatan
• Bentuk Desa di Ambon
Desa adat suku Ambon dibangun sepanjang jalan utama antarasatu desa dengan desa yang lain saling berdekatan, atau bisa juga dalam bentuk kelompok yang terdiri dari rumah rumah yang dipisahkan oleh tanah pertanian. Bentuk kelompok kecil rumah-rumah itu disebut ”Soa”. Rumah asli Ambon, sama seperti di Nias, Mentawai, Bugis Toraja, dan suku lainnya di Indonesia, di bangun dengan tiang kayu yang tinggi. Beberapa “Soa” yang letaknya berdekatan satu dengan yang lain dalam sebuah kampung yang disebut dengan ”Aman”. Kumpulan dari beberapa ”Aman” disebut dengan ”Desa” yang juga disebut dengan ”Negri” dan dipimpin oleh seorang ”Raja” yang diangkat dari klen-klen tertentu yang memerintah secara turun-temurun, dan kekuasaan di dalam negari dibagi-bagi untuk seluruh klen dalam komunitas negeri. Pusat dari sebuah Negri dapat dilihat dengan adanya balai pertemuan, rumah raja, gereja, masjid, rumah alim ulama, toko, dan kandang berbagai hewan peliharaan. Dalam proses sosio-historis, ”negri-negri” ini mengelompok dalam komunitas agama tertentu, sehingga timbul dua kelompok masyarakat yang berbasis agama, yang kemudian dikenal dengan sebutan Ambon Sarani dan Ambon Salam. Pembentukan negeri seperti ini memperlihatkan adanya suatu totalitas kosmos yang mengentalkan solidaritas kelompok, namun pada dasarnya rentan terhadap kemungkinan konflik. Oleh sebab itu, dikembangkanlah suatu pola manajemen konflik tradisional sebagai pencerminan kearifan pengetahuan lokal guna mengatasi kerentanan konflik seperti Pela, Gandong; yang diyakini mempunyai kekuatan supranatural yang sangat mempengaruhi perilaku sosial kedua kelompok masyarakat ini; dan hubungan kekerabatan lainnya.
• Sistem kemasyarakatan
Dalam kehidupan masyarakat Maluku pada umumnya dan Ambon pada khususnya, hubungan persaudaraan atau kekeluargaan terjalin atau terbina sangat akrab dan kuat antarasatu desa atau kampung dengan desa atau kampung yang lain. Hubungan kekeluargaan atau persaudaraan yang terbentuk secara adat dan merupakan budaya orang Maluku atau Ambon yang sangat dikenal oleh orang luar itu dinamakan dengan istilah "PELA". Hubungan pela ini dibentuk oleh para datuk atau para leluhur dalam ikatan yang begitu kuat. Ikatan pela ini hanya terjadi antaradesa kristen dengan desa kristen dan juga desa kristen dengan desa islam. Sedangkan antara desa Islam dengan desa Islam tidak terlihat. Dengan demikian, walaupun ada dua agama besar di Maluku (Ambon), akan tetapi hubungan mereka memperlihatkan hubungan persaudaraan ataupun kekeluargaan yang begitu kuat. Namun seperti ungkapan memakan si buah malakama atau seperti tertimpa durian runtuh, hubungan kekeluargaan atau persaudaraan yang begitu kuatpun mendapat cobaan yang sangat besar, sehingga tidak dapat disangkali bahwa hubungan yang begitu kuat dan erat, ternyata pada akhirnya bisa diruntuhkan oleh kekuatan politik yang menjadikan agama sebagai alat pemicu kerusuhan yang sementara bergejolak di Maluku (Ambon), yang sampai sekarang sulit untuk dicari jalan keluarnya. Hubungan persaudaraan dan kekeluargaan yang begitu kuat dipatahkan dengan kekuatan agama yang dilegitimasi oleh kekuatan politik hanya karena kepentingan-kepentingan “bigbos” atau orang-orang tertentu.
D. Sistem peralatan hidup dan teknologi
Alat-alat berburu adalah jerat, dan lembing bamboo. Sedangkan alat-alat untuk menangkap ikan adalah perahu dengan peralatan lainnya, yaitu kail, kait, dan jarring. Perahu yang terbuat dari batang pohon dilengkapi dengan cadik disebut semah, sedangkan perahu terbuat dari papan disebut pakatore, dan perahu-perahu besar yang digunakan untuk berdagang. Rumah asli suku bangsa Ambon pada umunya berupa rumah-rumah bertiang. Rumah berbentuk segiempat dengan adanya serambi muka yang disebut dego-dego. Dinding rumah terbuat dari tangkai daun sagu yang disebut gaba-gaba.
E. Sistem mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi Penduduk kota Ambon sebagian besar bekerja dalam bida ng jasa kemasyarakatan, antara lain pegawai Pemda, perawat, dokter, dosen, guru, bidan, pramuwisata, dan sopir. Selain itu ada juga penduduk yang nienjadi pedagang, pekerja di pabrik, sektor bangunan, dan lain lain.
Berlainan halnya dengan masyarakat yang mendiami kota Ambon, masyarakat daerah pedesaan Pulau Ambon kehidupannya sangatlah tergantung dari kemampuan dan ketrampilan mengolah dan memanfaatkan lingkungan alam sekitar. Bagi masyarakat pedesaan, sistem mata pencaharian hidup mereka terutama pada usaha pertanian. Jenis tanaman bahan makanan yang diusahakan antara lain ubi kayu, ubi jalar dan jenis umbi umbian lainnya. Pada umumnya hasil tanaman tersebut untuk memenuhi kebutuhan sendiri, selebihnya barulah dipasarkan di kota Ambon. Penanaman bahan makanan tersebut, lebih banyak dilakukan oleh suku Buton yang tersebar hampir diseluruh Pulau Ambon.
Selain tanaman bahan makanan, hutan-hutan dalam petuanan desa juga ditanami dengan berbagai jenis tanaman buah-buahan seperti langsat, salak, durian, rambutan, jeruk, nanas, pisang, manggis dan sebagainya. Hasil tanaman buah buahan tersebut pada umumnya dipasarkan di kota Ambon.
Bagi masyarakat desa pantai, selain bertani mereka juga aktif dalam usaha sumber daya laut. Seluruh perairan pulau Ambon memang merupakan sentra hasil laut. Ada 3 buah desa nelayan yang terpenting di Pulau Ambon, antara lain Desa Hitu, Desa Tulehu, dan Desa Galala. Menurut perkiraaan 10% dari penduduk pulau Ambon adalah nelayan dan terbagi atas: nelayan tetap (5%), nelayan musiman (3%), dan nelayan sambilan (2%). Usaha nelayan ini ada yang dilakukan secara perseorangan, ada juga dalam bentuk koperasi perikanan. Adapun jenis-jenis ikan yang ditangkap tidak berbeda dengan daerah lainnya di Maluku, seperti ikan cakalang/tuna, tongkol, selar, layang, kembung, julung, lemuru, dan udang. Selanjutnya ikan-ikan tersebut ada yang dijual langsung kepada konsumen, pabrik dalam bentuk industri kecil maupun pabrik pengalengan ikan.
F. Sistem religi
Mayoritas penduduk di Maluku memeluk agama Kristen dan Islam. Hal ini dikarenakan pengaruh penjajahan Portugis dan Spanyol sebelum Belanda yang telah menyebarkan kekristenan dan pengaruh kesultanan Ternate dan Tidore yang menyebarkan Islam di wilayah Maluku. Pemantapan kerukunan hidup beragama dan antar umat beragama masih mengalami gangguan khususnya selama pertikaian sosial di daerah ini. Redefinisi dalam rangka reposisi agama sebagai landasan dan kekuatan moral, spiritual serta etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh melalui pendidikan agama agar dapat mendorong munculnya kesadaran masyarakat bahwa perbedaan suku, agama ras dan golongan, pada hakekatnya merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Terkait dengan itu, maka peran para pemuka agama dan institusi-institusi keagamaan dalam mendukung terciptanya keserasian dan keselarasan hidup berdasarkan saling menghormati diantara sesama dan antar sesama umat beragama.
G. Kesenian
Adapun kesenian-kesenian yang ada di dalam Suku Ambon sebagai berikut:
• Tari tradisional Ambon seperti Tari Bambu Gila, Tari Katreji, Tari Pete Cengkeh, Tari Enggo Lari, Tari Pukul Sagu dan sebagainya.
• Lagu tradisional Ambon seperti Buka Pindi, Nona Manis Siapa Yang Punya, Rasa Sayange Sayange, Ayo Mama, Naik Ke Puncak Guntung, Sarinande, Burung Kakaktua, Ambon Manise, dan banyak lagi.
• Alat musik tradisional Ambon seperti Ukulele, Rebana, Tifa, Rumba, Suling Melintang (Floit), Suling Paruh, Tahuri, Gong Sedanh, Gong Toto Buang dan banyak lagi.
Sumber:
http://p2k.unkris.ac.id/id3/1-3065-2962/Bahasa-Ambon_40373_p2k unkris.html
https://bonealien.blogspot.com/2015/02/kehidupan-kemasyarakatan-suku ambon.html
https://pdfcoffee.com › makal...PDFMAKALAH “KEBUDAYAAN SUKU AMBON” Makalah Ini ...
https://kumparan.com › hijab-lifestyleContoh Teknologi dan Peralatan Hidup Masyarakat ...
http://repositori.kemdikbud.go.id/10694/1/masohi%20ambon.pdf
https://haloedukasi.com/suku-ambon
Komentar
Posting Komentar